RATUMAS SINA, PEREMPUAN BELIA ASAL JAMBI YANG
TAK GENTAR MELAWAN BELANDA
Pejuang perempuan yang masih belia dan ditakuti
Belanda adalah Ratumas Sina. Pada masa sebelum kemerdekaan, Ratumas Sina turut
mewarnai perjuangan kaum lelaki. Ratumas Sina lahir di Kampung Pudak, Kumpeh,
pada 1887. Dia seorang putri tunggal dari pernikahan Datuk Raden Nonot, dari
Suku Kraton, dengan Ratumas Milis binti Pangeran Mat Jasir.
Ratumas Sina adalah saudara sepupu Ratumas
Zainab. Sejak bayi hingga kanak-kanak, dia dibesarkan dalam kawasan perkebunan
di Paal VIII, belakang Kampung Pudak. "Sejak dia menikah pada usia 13
tahun, Ratumas Sina mulai ikut berperang melawan Belanda bersama
suaminya," kata peneliti sejarah Jambi, Ali Surakhman, melalui sambungan
telepon, Selasa (10/11/2020). Dia mengatakan, pada awal 1900, saat memasuki
usia 13 tahun, Ratumas Sina dinikahkan dengan salah seorang cucu dari Pangeran
Poespo dari kerabat Ibunya, Permas Kadipan yang menjadi raja di Merangin.
Suaminya, menurut Ali, belum diketahui namanya hingga saat ini.>
Namun, dia adalah seorang pimpinan pasukan
perang di bawah komando panglima perang Pangeran Haji Umar. Panglima perang
Haji Umar ini bergerilya dan memukul Belanda di wilayah Merangin, Sarolangun,
Bungo, Tebo, dan Kerinci. Panglima perang yang paling ditakuti Belanda ini
adalah paman dari Ratumas Sina. Setelah menikah, Ratumas Sina juga mengangkat
senjata bersama pasukan Haji Umar dan suaminya. Pasukan ini begitu mematikan.
Tidak hanya menerapkan strategi gerilya, tetapi juga menyerbu musuh pada malam
hari.
PERLAWANAN BELANDA
Perlawanan Belanda berhasil menumbangkan suami
Ratumas Sina. "Belum genap satu tahun pernikahannya, pada 1902, suami
Ratumas Sina gugur dalam sebuah serangan terhadap markas pasukan Belanda di
Sungai Alai," kata Ali yang kini juga berstatus sebagai pamong budaya.
Dalam serangan pasukan Pangeran Haji Umar tersebut, banyak serdadu Belanda
berhasil dibunuh. Ratusan senjata serta amunisi (misiu) milik kolonial berhasil
dirampas.
PIMPINAN PASUKAN
Belanda di Sungai Alai marah besar terhadap
Pangeran Haji Umar. Jenazah suami Ratumas Sina diperlakukan dengan keji oleh
pasukan Belanda. Kedua tangan mayat dibentangkan pada sebatang kayu dan dipaku.
Lalu, kulit kepalanya dikelupas. "Mayat yang sudah memprihatinkan itu
kemudian diarak Belanda ke khalayak ramai," kata Ali. Sampai saat ini,
tidak ada seorang pun yang mengetahui akhir dari nasib yang dialami jenazah
suami Ratumas Sina dan letak pusara atau kuburnya.
Balas dendam
Perlakuan buruk dari Belanda terhadap suaminya
membuat Ratumas Sina geram. Dia pun menggempur pertahanan Belanda di semua
tempat, bersama pasukan Haji Umar. Setelah penyerangan di Sungai Alai, pasukan
ini secara berkala terus melakukan serangan mendadak terhadap
kedudukan-kedudukan penting serdadu Belanda, antara lain Ulu Tebo, Muaro Bungo,
sampai ke Merangin. "Dalam setiap serangan gerilya dan malam hari, pasukan
Belanda banyak yang terbunuh," kata Ali. Ratumas Sina terus meningkatkan
ilmu perang dan ilmu bela diri dengan Haji Umar, Pangeran Seman, dan Pangeran
Diponegoro.
Pada pengujung 1904, ketika Pangeran Haji Umar
dan pasukan berada di sekitar pedalaman batas Muaro Bungo dan Merangin, tersiar
kabar Depati Parbo tertangkap dalam sebuah jebakan yang dirancang Belanda.
Maka, pasukan Haji Umar bergerak ke arah Kerinci. Sementara itu, Ratumas Sina
dan pasukannya diminta menahan diri dan mundur dari daerah-daerah yang sudah
dikuasai Belanda. Pasukan Ratumas Sina diperintahkan untuk mengurangi serangan
gerilya terhadap kedudukan serdadu Belanda di sekitar Merangin dan Muaro Bungo.
"Ratumas Sina hanya boleh menyerang apabila sudah dipastikan menang,
karena kekuatan sudah terbagi," terang Ali. Sembari menunggu waktu terbaik
untuk menyerang, Ratumas Sina melakukan perekrutan pasukan di Muarobungo dan
Tanah Sepenggal.
Dalam merekrut dan melatih perang pasukan baru,
Ratumas Sina berada di persembunyian, yakni daerah antara Bungo dan Kerinci.
Akhir kehidupan Ratumas Sina cukup panjang. Dia meninggal pada usia 80 tahun.
Dia juga sempat tertangkap Belanda dan diasingkan ke Lumajang. Peneliti sejarah
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri Dedi Arman menjelaskan,
satu-satunya pejuang perempuan di Jambi yang memiliki sumber tertulis adalah
Ratumas Sina. Kendati demikian, kisah perjuangan Ratumas Sina itu satu zaman
dengan pahlawan nasional dari Jambi, yakni Sultan Thaha Saifuddin dan Raden
Mattaher. "Pejuang perempuan dari Jambi itu Ratumas Sina. Dia sezaman
dengan Sultan Thaha dan Raden Mattaher," kata Arman.
Artikel ini telah tayang di dengan judul "Ratumas Sina, Perempuan
Belia Asal Jambi yang Tak Gentar Melawan Belanda", Klik untuk baca:https://regional.kompas.com/read/2020/11/11/16050151/ratumas-sina-perempuan-belia-asal-jambi-yang-tak-gentar-melawan-belanda?page=all#page4